Senin, 27 Oktober 2008

Cara Belajar Anak TK

Program Pembelajaran PAUD

  1. Program pembelajaran TK, RA, BA dan bentuk lain yang sederajat dikembangkan untuk mempersiapkan peserta didik memasuki SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat.
  2. Program pembelajaran TK-, RA, BA dan bentuk lain yang sederajat dapat dikelompokkan dalam program pembelajaran -agama dan ahlak mulia; program pembelajaran -sosial dan kepribadian; program pembelajaran -pengetahuan dan teknologi; program pembelajaran -estetika; dan program pembelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan.
  3. Semua program pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan mendorong kreativitas serta kemandirian.
  4. Program pembelajaran disusun dengan memperhatikan tingkat perkembangan fisik dan psikologis peserta didik serta kebutuhan dan kepentingan terbaik anak.
  5. Pengembangan program pembelajaran TK, RA, BA dan bentuk lain yang sederajat didasarkan pada prinsip bermain sambil belajar dan belajar seraya bermain dengan memperhatikan perbedaan bakat, minat, dan kemampuan masing-masing anak, sosial budaya, serta kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat.
  6. Pengembangan program pembelajaran TK, RA, BA dan bentuk lain yang sederajat harus mengintegrasikan kebutuhan anak terhadap kesehatan, gizi, dan stimulasi psikososial.
  7. Program pembelajaran dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan 0relevansinya oleh masing-masing satuan pendidikan.

Perlukah Anak TK Diajarkan Baca Tulis dan Bahasa Inggris?KONTROVERSI pengajaran baca-tulis dan Bahasa Inggris untuk anak Taman Kanak-kanak (TK) masih berlangsung. Kalangan yang tidak setuju berargumentasi bahwa TK adalah masa bermain sehingga tak perlu dibebani dengan pelajaran. Dikhawatirkan pengajaran baca tulis dan Bahasa Inggris akan mengurangi kesempatan bermain siswa.

Sedangkan pihak yang setuju memberi alasan bahwa baca-tulis dan Bahasa Inggris sudah menjadi ketrampilan dasar (basic skill) yang perlu dipelajari sejak dini di era global ini. Apalagi banyak SD mensyaratkan siswa masuk sudah mampu baca-tulis, atau diandaikan tamat TK sudah mampu baca-tulis. Buku-buku paket untuk kelas SD pun mengandaikan anak sudah bisa baca tulis.

Orangtua pun khawatir kalau anaknya masuk SD belum mampu baca-tulis akan mengalami kesulitan belajar. Alasan yang sangat realistik. Untuk Bahasa Inggris, mereka berargumen bahwa agar mampu bersaing di era global, anak-anak harus menguasai bahasa Inggris sebagai bahasa internasional sejak dini. Alasan ini didukung dengan pendapat bahwa proses penguasaan bahasa berlangsung paling efektif pada masa kanak-kanak.

Penting Metodenya

Memang, bermain merupakan ciri dan cara anak-anak berinteraksi dan belajar. Artinya, melalui bermain itulah proses belajar sesungguhnya sedang berlangsung. Di sinilah guru harus piawai merancang program pembelajaran melalui permainan sehingga anak-anak tidak sadar bahwa dirinya sedang belajar karena pelajaran disampaikan melalui permainan.

Anak akan merasa bosan dan terbebani jika pembelajaran berlangsung formal. Salah satu contoh yang sedang mewabah di sekolah-sekolah dari TK sampai SMU adalah penggunaan LKS (lembar kerja siswa) tanpa disertai proyek atau kerja itu sendiri. Anak hanya duduk diam berhadapan dengan soal-soal hafalan sambil silang-menyilang jawaban.

Khususnya untuk anak TK, model LKS seharusnya tidak diterapkan, atau tidak digunakan sebagai satu-satunya model belajar, karena mereka membutuhkan ruang gerak secara fisik maupun intelektual yang lebih luas. Anak TK tidak terlalu butuh pengetahuan informatif, melainkan mereka lebih membutuhkan pengembangan cara berpikir, cara mengungkapkan pendapat dan perasaan, membebaskan imajinasinya untuk memacu daya kreatifnya.

Pengajaran baca-tulis dan bahasa Inggris pun tidak akan membebani jika disajikan dalam suasana bermain dan kondisi alamiah sehingga siswa menemukan hal-hal yang menarik dan menantang di dalamnya. Bukankah dalam kehidupan sehari-hari anak-anak selalu berjumpa dengan dunia keberaksaraan (literacy)? Ketika nonton TV, di bungkus makanan, poster di jalan-jalan, dan hampir di setiap ruang selalu ada tulisan. Dengan kata lain, keberaksaraan sudah menjadi habitat hidup anak-anak, bukan hal baru bagi anak.

Masalahnya, bagaimana guru mampu menuntun anak-anak mulai memasuki dunia dengan penuh huruf-huruf tersebut karena di baliknya tersimpan kekayaan makna. Kunci keberhasilannya bukan pada materi pembelajaran, melainkan metode yang digunakannya.

Hal yang sama dengan pengajaran bahasa Inggris, sebaiknya bukan dijadikan mata pelajaran dan para siswa secara khusus pada jam khusus belajar mengenainya. Bahasa hidup dalam praktik hidup nyata dan terjadi melalui pembiasaan yang berulang-ulang. Dengan demikian, setiap guru bisa menjadi guru bahasa Inggris karena anak-anak setiap hari mempraktikkan kemampuan berbahasanya setahap demi setahap.

Bagaimana melatih mengucap salam (greeting), bertanya, mengenal benda sekitar, dan segala hal yang nyata dialami anak secara kontekstual. Dengan demikian, bahasa Inggris tak lagi berkesan sebagai "bahasa asing" yang menakutkan, melainkan menjadi cara berekspresi yang bisa digunakan anak dalam kehidupan sehari-hari.

Kreasi dan Ekspresi

Proses belajar akan kehilangan daya tariknya jika terlalu ditekankan masalah pembakuan, formalitas, dan penyeragaman. Guru terjebak pada masalah administratif dan formalitas sehingga tak memiliki kesempatan dan kebebasan untuk berkreasi dan berekspresi.

Takut salah dan apatis semakin menjerumuskan guru ke dalam kubangan rutinitas mengajar. Mereka tak lagi sebagai kreator, motivator, dan fasilitator, melainkan sekadar "tukang mengajar" yang menjalankan pekerjaan sesuai dengan pesanan dan pola yang sudah dibakukan oleh kurikulum. Idealnya, guru sendirilah yang merancang program pembelajaran, yang mengetahui apa yang dibutuhkan para siswanya, yang mengetahui kondisi kelasnya secara nyata. Kurikulum adalah sarana, bukan tujuan, yang digunakan untuk membantu guru merancang program pembelajarannya.

Sesungguhnya tak perlu diperdebatkan apakah baca-tulis dan bahasa Inggris perlu diajarkan kepada anak TK atau tidak. Para guru lebih tahu apa yang dibutuhkan anak-anaknya, para guru juga lebih tahu bagaimana cara mengajarkannya. Yang lebih memprihatinkan sesungguhnya, jika guru membuat rencana pengajaran hanya untuk kepentingan administratif, sementara pembelajaran nyata di dalam kelas sekadar menyodorkan LKS kepada para siswanya.

Belajar Menulis Menghitung

Media Indonesia, Sabtu, 27 November 2004. ANAK-anak TK itu belajar membaca, menulis, menghitung. Itulah pelajaran pertama yang wajib diberikan guru kepada anak-anak TK (taman kanak-kanak). Selebihnya adalah bermain. Bermain menjadi penting bagi anak-anak itu supaya mereka belajar di dalam keadaan yang menyenangkan. Keadaan yang menyenangkan di waktu belajar dapat mendorong anak-anak TK untuk mampu mengekspresikan apa-apa yang ada di dalam hati dan pikiran mereka. Pelajaran membaca, menulis, dan menghitung tidak menjadi beban bagi anak-anak TK karena suasana belajar yang menyenangkan itu. Begitulah penjelasan seorang guru TK.
Bu guru TK itu melanjutkan bahwa suasana bermain itu perlu tampak pada waktu memberikan pelajaran kepada anak-anak itu cara duduk yang benar, cara menggosok gigi yang benar, cara memegang pensil, cara makan yang benar, cara minum, cara membuang hajat di dalam WC, cara berkata-kata yang benar. Bahkan di dalam pendidikan Islam, anak-anak berdoa ketika hujan datang.Di samping itu menyanyi dan menari setiap hari perlu dilakukan untuk semakin membebaskan anak-anak itu dari beban yang dibawa dari rumah. Dari sini anak-anak itu memperoleh kesan bahwa bersekolah itu sungguh menyenangkan dan ngangeni (merindukan). Hanya saja dewasa ini suasana di TK memprihatinkan karena sifat bermain dari pembelajaran anak-anak TK itu berubah menjadi serius. Begitu seriusnya sampai-sampai anak-anak TK itu ketika naik ke kelas 1 (satu) SD menjadi sombong. Kenapa? Mereka menjadi sombong karena pelajaran di kelas satu SD (sekolah dasar) itu sudah mereka lahap di TK. Inilah yang membuat Bu Teguh, seorang guru kelas 1 SD, prihatin. Dari sini kemudian terjadi pengelompokan. Ada 'TK merambat' yang standar dan 'TK melompat' yang berat. Bu Teguh mengharapkan ada koordinasi antara 'TK melompat' dan sekolah dasar. Jika tidak ada jalinan mata pelajaran antara keduanya, bisa-bisa terjadi 'gegar pelajaran' yang berakibat mata pelajaran SD goncang semua. Lain halnya dengan sekolah mahal. Di sekolah mahal itu, mata pelajaran dari TK sampai SMA sudah dikoordinasikan. Nah, ngobrol tentang sekolah mahal, pakar pendidik Pak Arief Rachman dari Lab School, Rawamangun, Jakarta Timur, menyatakan siapa pun yang menginginkan sekolah berkualitas, sekolah itu harus mahal. Hal ini tidak bisa ditawar-tawar. Tentu Pak Arief atau siapa pun yang namanya guru, tak memerlukan tanda jasa. Yang dibutuhkan guru adalah penghasilan yang cukup untuk menyejahterakan keluarganya. Bagaimana jika gaji guru di Tanah Air tetap terseok-seok sementara Malaysia dan Brunei Darussalam melambai-lambaikan tangan sambil menyemprotkan parfum kepada jago-jago pendidik Indonesia supaya pindah saja ke kedua negeri subur makmur itu dengan gaji dan fasilitas setinggi langit? Boleh saja seandainya Pak Arief yang menyayangi murid-muridnya seperti anak-anaknya sendiri itu, atau guru-guru lain, berbondong-bondong ke negeri-negeri jiran itu, untuk mencari penghidupan yang layak. Hal itu sudah terjadi pada sementara dosen di perguruan tinggi kita. Nah, obrolan tentang pendidikan di Metro TV bersama Mendiknas Bambang Soedibyo, mantan Mendiknas Malik Fajar, Guru Besar Wayan Sadina (?) dari Universitas Negeri Malang, Jawa Timur, dan pakar pendidikan Arief Rachman, tampak ideal dan mengatasi berbagai persoalan. Namun agaknya soal 20 persen anggaran pendidikan nasional kelihatannya masih (sangat) berat untuk direalisasikan. Jangan-jangan butuh waktu satu generasi untuk bisa menggaet dana sebesar itu. Lalu tentang masa pakai buku pelajaran selama 5 tahun, mantan Mendiknas Daoed Joesoef menyatakan bahwa jangan sampai terjadi pendidikan dipermainkan. Pak Daoed melanjutkan bahwa keputusan pemerintah itu tidak berdasar kesimpulan dari kajian masak para pakar pendidikan. Bahkan Pak Daoed menganggap keputusan itu untuk memperoleh popularitas sesaat. Sementara itu, mantan Mendiknas Malik Fajar berbicara tentang buku pelajaran itu, menyatakan bahwa jangan sampai orientasinya bisnis melulu. Harus punya rasa sosial bahkan rasa spiritual. Sempat saya tanyakan kepada sejumlah guru SD dan SMP, mereka menjawab bahwa sampai sejauh ini, ketentuan masa berlaku buku pelajaran 5 tahun itu belum dilaksanakan karena masih banyak syarat yang perlu dipecahkan. Banyak orang tua yang menyambut gembira keputusan pemerintah perihal buku 5 tahun itu karena bisa berhemat namun banyak pula yang khawatir karena arus kemajuan ilmu pengetahuan untuk melakukan perubahan sosial setiap saat, bukan makin derasnya. Dan hal itu butuh buku-buku baru. Persoalan pendidikan adalah persoalan mati-hidup sebuah bangsa. Siapa pun bangsa itu yang mengesampingkan pendidikan, bangsa itu akan bangkrut. Sedangkan bangsa yang mengutamakan pendidikan, bangsa itu akan berjaya. Bangsa-bangsa besar dunia, semakin berjaya semakin terus mengembangkan kepiawaiannya dalam pendidikan. Bangsa Indonesia baru merdeka 50 tahun sehingga belum paham soal pentingnya pendidikan. Banyak pemuda kita yang cerdas-cerdas yang terpinggirkan sehingga tidak mampu melanjutkan pendidikannya padahal ada yang meramalkan sekitar sekian tahun lagi, ada di antara mereka yang bisa memenangi Nobel Fisika. Nah, berbicara soal belajar membaca, menulis, dan menghitung, rasanya kita para orang tua perlu mempelajarinya lagi. Artinya, kita perlu mengkaji lagi ABC-nya persoalan: hukum, keadilan, hak asasi, demokrasi, kepantasan, dan etika. Misalnya, bolehkah kita sebagai hamba wet melakukan kekerasan terhadap warga yang menentang suatu keputusan pemda. Bolehkah kita sebagai hamba wet menyetop kendaraan yang melaju di jalan bebas hambatan dengan alasan apa pun. Bolehkah kita sebagai hamba wet menutup paksa sebuah sekolah dengan alasan tukar guling sudah berlangsung meskipun sebenarnya masih dalam sengketa. Ayolah kita-- orang-orang tua --belajar lagi. Belajar apa saja.

"Haruskah Anak TK Bisa Membaca dan Menulis?"

________________________________________
Berbicara tentang anak TK, hingga saat ini, kita kerapkali mendengar polemik mengenai boleh tidaknya mengharuskan anak-anak TK untuk bisa membaca dan menulis. Pendapat yang mengharuskan anak TK bisa baca tulis, biasanya dilatar belakangi oleh keinginan untuk bisa masuk SD dengan mudah karena pada saat tes masuk SD, ada banyak sekolah yang mensyaratkan calon siswanya untuk bisa baca tulis. Sedangkan pendapat yang berlawanan dengan hal tersebut, mengatakan bahwa mengharuskan anak TK bisa membaca dan menulis, berarti memaksakan anak untuk memiliki kemampuan yang seharusnya baru diajarkan di SD. Hal ini membuat aktivitas bermain anak yang seyogyanya dominan untuk usia mereka, menjadi berkurang atau bahkan terabaikan, sehingga dikhawatirkan akan menghambat perkembangan potensi-potensi kemampuan anak secara optimal kelak kemudian hari.
Dengan adanya polemik tersebut, tidak jarang membuat orangtua menjadi bingung, pendapat mana yang harus diikuti, karena masing-masing pendapat, tampak memiliki alasan yang cukup kuat.
Dalam menyikapi hal ini, sudah selayaknyalah kita mempertimbangkan alasan-alasan yang melatarbelakangi kedua pendapat tersebut, untuk kemudian mencari jalan tengah yang dapat menjadi sebuah solusi yang bijaksana bagi anak. Bukankah kita sebagai orangtua atau guru memang menginginkan potensi dan kemampuan anak dapat tumbuh optimal melalui stimulasi pendidikan atau pengajaran yang kita berikan kepada mereka?
Berbicara tentang pendidikan anak usia dini, Sebenarnya sah-sah saja mengajarkan pelajaran baca tulis pada anak-anak TK, asalkan anak sudah siap untuk menerima pelajaran tersebut atau biasa disebut sebagai sudah muncul masa pekanya. Adanya kesiapan atau kepekaan tersebut, biasanya muncul pada usia sekitar 4 – 6 tahun. Hal ini misalnya ditandai dengan adanya ketertarikan anak pada kegiatan-kegiatan pra membaca dan pra menulis seperti adanya kematangan visual motorik untuk dapat memegang alat tulis dengan benar atau meniru beberapa bentuk sederhana, kemampuan memusatkan perhatian, keinginan atau minat yang kuat untuk melihat gambar-gambar/tulisan di buku atau sekedar membuka-buka buku/majalah, senang bermain dengan huruf-huruf, dsb.
Selain memperhatikan masa peka anak untuk belajar baca tulis, penting pula untuk mengetahui bagaimana cara memberikan pelajaran baca tulis tersebut. Mengacu pada karakteristik umum anak TK, dimana aktivitas bermain menjadi aktivitas dominan mereka, maka perlu diingat bahwa dalam memberikan pelajaran baca tulis pada anak TK hendaknya dilakukan dengan pendekatan yang menyenangkan anak dan tidak memaksa anak. Pendekatan informal dimana pelajaran disampaikan dalam koridor bermain tampaknya menjadi sesuatu yang cocok untuk diterapkan pada pengajaran baca tulis anak-anak TK. Pendekatan informal yang dapat dilakukan, misalnya membacakan buku cerita sambil memperlihatkan gambar dan tulisan di buku/majalah yang sedang dibacakan, menempelkan gambar-gambar yang berhubungan dengan huruf atau tulisan pada ruang bermain atau kamar tidur anak, mecoba meniru bentuk lingkaran/garis atau huruf tertentu, mengajak anak menonton film yang bersifat mendidik sekaligus menghibur sehubungan dengan pelajaran baca tulis, bermain tebak-tebakan huruf, menelusuri bentuk huruf dengan jari, dsb.
Proses belajar menuju kemampuan baca tulis pada anak TK sebaiknya tidak dilakukan dengan pendekatan formal, seperti layaknya anak-anak SD. Karena hal ini dikhawatirkan akan membuat anak merasa tertekan dan jenuh, mengingat kemampuan anak untuk bisa berkonsentrasi pada satu topik bahasan biasanya masih sangat terbatas dan secara umum anak masih berada dalam dunia bermain. Apalagi bila dalam memberi pelajaran tersebut dilakukan dengan kekerasan, misalnya disertai dengan bentakan-bentakan, hinaan atau ejekan manakala anak belum mampu mengikuti pelajaran baca tulis yang diberikan, maka bukan tidak mungkin anak akan tumbuh menjadi anak rendah diri, yang justru hal ini akan menghambat perkembangan kemampuannya secara optimal kelak kemudian hari.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pendekatan bermain sambil belajar, merupakan cara terbaik menuju kemampuan baca tulis pada anak TK. Guru dan orang tua hendaknya saling bekerjasama untuk dapat memberikan cara belajar dan mengajar yang sesuai untuk anak-anak TK mereka. Orangtua atau guru perlu menyesuaikan cara mengajar baca tulis sesuai dengan kemampuan yang dimiliki tiap anak.
Mengharuskan semua anak TK untuk bisa baca tulis, tampaknya menjadi hal yang kurang bijaksana mengingat setiap anak memiliki kemampuan dan kesiapan belajar baca tulis yang berbeda satu sama lainnya. Sebenarnya masih banyak hal-hal lain yang penting untuk dapat diajarkan pada anak TK, ketimbang hanya terfokus pada kemampuan baca tulis semata, misalnya penanaman disiplin, kemandirian, tanggung jawab serta budi pekerti yang baik. Stimulasi terhadap kecerdasan intelektual anak, seperti pada kegiatan baca tulis, memang penting, namun perlu diupayakan jangan sampai stimulasi terhadap kecerdasan intelektual terlalu berlebihan sehingga cenderung memaksakan anak dan melupakan aspek-aspek kecerdasan lain yang juga perlu mendapat stimulasi seperti kecerdasan sosial, emosional, dsb, yang semuanya sangat diperlukan agar dapat menjadi bekal bagi anak dalam menghadapi masa depannya kelak

Perencanaan Pembelajaran Seni Rupa di Taman Kanak-kanak

Sebagai guru Taman Kanak-kanak Anda penting memperhatikan bahwa bagi anak-anak TK bukan hasil karya yang diutamakan namun pengalaman belajar yang menyenangkan dan kaya eksplorasi yang dibutuhkan anak.

Pengalaman ini akan menimbulkan kesan yang mendalam dan memberikan kesenangan, kepuasan dan kenyamanan. Hal ini dimungkinkan karena program kegiatan seni bersifat fleksibel.

Rasa percaya diri adalah faktor utama dalam mencapai kesenangan dan kesuksesan dalam pengalaman seni anak.

Berbagai stimulus yang dapat diberikan untuk anak-anak balita agar mereka termotivasi berkreasi seni antara lain: menyediakan material seni yang mudah dikuasai, menyediakan ruang yang nyaman untuk berkarya, dan memberi kebebasan anak untuk mengeksplorasi materi seni sesuai keinginannya.

Tema yang disenangi anak-anak TK dalam berkarya seni rupa biasanya bersumber dari realitas dunia anak, misalnya anggota keluarga, lingkungan bermain, alat permainan, hewan peliharaan atau kesayangan, dongeng yang diceritakan guru, sirkus, kebun binatang, kolam renang, taman bermain dan sebagainya.

Suatu pengkajian terhadap gambar anak menunjukkan hasil bahwa gambar anak dapat diklasifikasi dalam 4 kategori yakni:

Gambar spontan: yakni gambar yang dibuat atas inisiatif anak sendiri sebagai suatu kegiatan bermain.

Gambar bebas atau sukarela: yakni gambar yang dibuat atas permintaan guru atau orang tua atau teman namun tema dan objek gambar dipilih sendiri oleh anak.

Gambar terarah: yakni gambar yang tema/topiknya sudah diarahkan.

Menyalin gambar atau melengkapi gambar: yakni gambar yang telah disiapkan contohnya dalam format Lembar Kerja Siswa.

Situasi/kondisi yang dapat memotivasi anak dalam berkarya dapat dilakukan melalui bermacam-macam metode pembinaan, antara lain: Metode pembinaan ekspresi, metode pembinaan kreativitas, metode pembinaan sensitivitas.

Pembinaan ekspresi merupakan pembinaan proses pengungkapan perasaan termasuk ungkapan jiwa. Pembinaan ekspresi meliputi dua hal:

Memberikan rangsangan kepada anak untuk mengaktifkan pengungkapan jiwa dengan cara:

Pendekatan langsung pada alam dan peristiwa-peristiwa di luar kelas, misalnya: mengenal proporsi, bayangan, mengenal bermacam-macam aroma, tekstur.

Pembangkitan minat berdasarkan pengalaman anak.

Melatih keberanian, spontanitas dan keterampilan menggunakan bermacam-macam media ungkap, sebagai saran mengekspresikan perasaan jiwa, dengan cara:

Eksplorasi: kegiatan menjelajah, mencoba-coba ide atau material lain.

Eksperimen: kegiatan menemukan hal-hal baru yang didapat dalam proses mencoba berbagai media ungkap.

Pembinaan kreativitas, bisa diartikan dengan kemampuan mencipta, menanggapi persoalan, memiliki keaslian serta memiliki kemampuan berpikir secara menyeluruh.

Pembinaan sensitivitas berarti kepekaan rangsangan dari luar yang diserap melalui pancaindra. Cara membina sensitivitas dapat ditempuh melalui:

Latihan melihat/mengamati sesuatu, misalnya mengamati macam bentuk, warna, tekstur, kemudian diserap oleh anak-anak sehingga menimbulkan berbagai tanggapan dan perasaan.

Latihan meresponss pengalaman sensori, misalnya mengenali karakter macam-macam tekstur dengan meraba permukaan sesuatu benda.

Mempelajari, menganalisis susunan sesuatu, misalnya: mula-mula anak mengamati susunan benda (objek) kemudian diteruskan dengan menganalisis kondisi, karakter objek, selanjutnya dicoba mengungkapkan hasil pengamatan itu.

Metode pembinaan keterampilan. Keterampilan di sini meliputi segala macam teknik penggunaan serta pengenalan alat-alat atau media ungkap seni rupa.

Apresiasi seni adalah kesadaran akan nilai-nilai seni. Kesadaran ini meliputi pemahaman, penghayatan, dan kemampuan untuk menghargai karya seni.

Proses Penciptaan Karya Seni Rupa di Taman Kanak-kanak

Dalam proses penciptaan karya seni rupa di Taman Kanak-kanak ada 4 kategori sebagai berikut.

Mengamati (seeing), yang memberi kesempatan/peluang untuk mengembangkan kepekaan persepsi (perceptual awareness) melalui kegiatan mengembangkan kemampuan pengamatan kritis.

Merasakan (feeling), yang memberi peluang untuk mengembangkan “respons estetis” (Aesthetic awareness) melalui kegiatan apresiasi dan pengembangan kepekaan penilaian estetis.

Berpikir (thinking), yang memberi peluang untuk mengembangkan “kemampuan mengevaluasi dan mengapresiasi”, melalui evaluasi objektif dan diskriminasi/perbedaan personal.

Melakukan (doing), yang memberikan peluang untuk mengembangkan keterampilan (skills) “memanipulasi alat dan media” dalam menghadirkan “visual - form” (bentuk-bentuk visual) yang merupakan ungkapan emosi, gagasan dan perasaan.

Proses penciptaan karya seni rupa melalui berpikir (thinking), bisa diartikan dengan kemampuan mengevaluasi dan mengapresiasi.

Menggambar adalah media yang paling ekspresif, yang dengan langsung dapat mengungkapkan gagasan serta ide dari dalam diri seorang anak secara bebas.

Dalam membuat lukisan dengan jari hal utama yang perlu diperhatikan adalah penggunaan cat yang khusus. dalam hal ini Anda dapat membeli cat-jari atau membuatnya sendiri.

Sebelum membuat lukisan dengan jari, sebaiknya kertas dibasahi terlebih dahulu, agar cat dapat mengalir dengan baik.

Alat lain yang dapat dilakukan untuk anak TK dalam membuat gambar yaitu dengan sedotan, yang berguna sebagai pengganti kuas.

Konstruksi dibangun dengan merekatkan batang-batang ice cream yang disusun tumpang tindih.

Persilangan susunan batang-batang ice cream membangun dimensi bidang yang berirama gerak ke segala arah. Hal ini dapat melatih anak dalam mengenal makna hubungan, gerak, irama, dan bidang.

Rancangan Pembelajaran Seni di TK

Pengembangan kurikulum Nasional Pendidikan Seni di TK berdasarkan (1) Kompetensi dasar, (2) Konsep pembelajaran terpadu dengan kompetensi lintas kurikulum.
Pembelajaran terpadu seni di TK dapat dilakukan dalam beberapa model, keterpaduan belajar antarbidang seni dengan melihat keterpaduan bidang kemampuan yang satu dengan yang lain.
Dalam proses pembelajaran seni TK diusahakan agar anak memperoleh beragam pengalaman baik dalam bidang seni maupun bukan bidang seni.

Evaluasi Pembelajaran Seni

Evakuasi pendidikan seni meliputi aspek: intelektual, perseptual, emosional, sosial, fisik, kreativitas dan estetika.
Penilaian diperoleh melalui: catatan harian, wawancara dengan anak dan orang yang dekat dengan anak (orang tua atau pengasuh) dan portofolio. Laporan hasil penilaian berbentuk uraian.

Apresiasi Seni di TK

Apresiasi seni adalah kesadaran terhadap nilai-nilai seni dan budaya. Apresiasi berarti pula penghargaan terhadap sesuatu, dalam hal ini penghargaan terhadap pelaku seni dan karya seni. Apresiasi seni harus ditumbuhkan dan dikembangkan pada anak.
Cara menumbuhkan apresiasi

Seni musik: mendengarkan, bereksplorasi, bermain musik dan bernyanyi.

Seni tari : mendengar, melihat, melihat dan mendengarkan, bereksplorasi dan menari.

Seni rupa : melihat, eksplorasi, membuat/mencipta.

Pada waktu menonton pagelaran musik dan tari serta pameran seni rupa diperlukan mematuhi tata tertib. Tata tertib perlu ditanamkan pada anak dengan beberapa cara, antara lain:

memberikan pengertian agar tidak mengganggu pagelaran;

berbisik di telinga anak apabila ingin menyampaikan pesan, demikian sebaliknya;

menyiapkan diri anak sebelum pagelaran dimulai agar menonton dengan perut terisi.

Kesadaran estetik seni adalah muara pendidikan seni yang dapat ditumbuhkan sejak usia dini sesuai dengan perkembangan anak, antara lain melalui apresiasi seni. Kesadaran estetika seni dipengaruhi faktor budaya, sosial ekonomi, pengaruh media masa, dan kemampuan berpikir fleksibel.

Sumber buku Metode Pengembangan Seni Karya Pekerti, Widia dkk.

Anak TK tidak boleh diajari Membaca

Pagi ini ada acara silaturrahmi orang tua siswa sekolah anak kami dan salah satu acaranya adalah ceramah tentang pendidikan yang disampaikan oleh Prof Suharyadi dari UI. Ceramahnya disampaikan dengan sangat menarik karena beliau pandai berkomunikasi dan suka humor.

Tapi ada hal yang disampaikan beliau yang mengganjal pikiran saya. Sebetulnya saya pingin berdiskusi dengan beliau tapi beliau terburu-buru ada acara lain sehingga pertanyaan saya ini terpaksa saya lemparkan ke milis ini. Saya berharap bisa memperoleh jawaban.

Pada ceramahnya beliau mengatakan bahwa batas usia masuk SD yang ideal adalah 7 tahun. Yang menjadi pertanyaan saya adalah : Apa dasar penentuan usia tujuh tahun tersebut? There should be argument behind this. Sebenarnya pertanyaan ini sudah lama menggoda saya tapi belum pernah dapat jawaban yang memuaskan. Tentunya penentuan batas usia tersebut tidak muncul begitu saja tapi memiliki argumen di belakangnya. Mungkin ada teman milis yang bisa menjawabnya. Terus terang pada saat ceramah argumennya tidak muncul sehingga pertanyan ini kembali menggoda saya.

Selain itu ada pernyataan beliau yang juga menggoda saya. Beliau mengatakan bahwa jika ada anak yang sampai usia tujuh tahun belum bisa membaca maka para orang tua semestinya berbahagia karena itu yang benar. Pernyataan ini tentu saja sangat provokatif dan mungkin bertujuan untuk ‘menenangkan’ sebagian orang tua yang mungkin anaknya belum juga bisa membaca meski sudah berusia tujuh tahun. Saya sulit menebak kemana arah dari pernyataan tersebut dengan Sayang sekali bahwa tidak terjadi diskusi mengenai hal ini setelah ceramah tersebut.

Pernyataan lain yang juga saya anggap ‘provokatif’ adalah bahwa sebelum usia tujuh tahun anak jangan diajarkan untuk membaca karena akan membuat otak anak justru tidak bisa berkembang dengan optimal. Saya tentu tidak meragukan kemampuan intelektual beliau apalagi beliau adalah dosen UI dengan gelar professor tapi pernyataan semacam ini tentunya membutuhkan argumen yang bersifat akademis, yang sayangnya tidak muncul karena memang bukan forumnya. Saya terus terang jadi penasaran.

Penelitian tentang kecerdasan anak belakangan ini semakin lama semakin meneguhkan adanya masa ‘usia emas 1 s/d 5 tahun’ bagi perkembangan otak anak, baik otak belakang-muka, kiri maupun kanan dan orang tua yang meyia-nyiakan masa usia emas tersebut dianggap akan merugikan perkembangan mental anak di masa-masa berikutnya. Tentu saja pro dan kontra tentang ini sangat riuh-rendah dan banyak diantara kita yang bersifat ‘wait and see’ dan banyak yang bersikap ambil aman daripada terjadi apa-apa nantinya. Tetapi pernyataan bahwa anak baru siap dididik pada usia tujuh tahun bagi saya adalah ‘out of date’ dan patut dipertanyakan argumentasinya.

Pernyataan ini mungkin dipicu oleh keprihatinan dalam melihat betapa sekolah sebagai tempat belajar secara formal ternyata telah menjadikan proses belajar menjauh dari proses bermain yang sebenarnya merupakan sumber inspirasi dalam belajar bagi anak-anak. Anak-anak telah dipisahkan dari proses bermain yang merupakan wahana bagi mereka dalam belajar dan meningkatkan kecerdasan. Dengan menekankan rasionalitas dan logika semata dalam proses belajar , terutama pada anak-anak, memang akan mengerdilkan kemampuan anak dalam belajar. Anak-anak di Taman Kanak-kanak (Kindergarten) belajar melalui bermain. Bermain bukanlah konsep yang terpisah dengan belajar.

Pernyataan beliau bahwa otak belakanglah yang menentukan kecerdasan seseorang juga perlu dipertanyakan. Kecerdasan nampaknya lebih ditentukan oleh otak bagian depan, yang kita kenal dengan otak kiri dan otak kanan. Otak bagian belakang ‘cuma’ berperanan penting dalam mengatur pernapasan dan koordinasi gerakan tubuh, atau yang disebut dengan ‘kegiatan vegetatif’ (“Revolusi IQ/EQ/SQ : Antara Neurosains dan Al-Qur’an. Taufiq Pasiak hal 72). Menurut ‘Tiga Otak’ Paul McLean otak belakang termasuk dalam Otak Reptil (Batang Otak) yang memiliki fungsi motorik sensoris, kelangsungan hidup(makan, minum,reproduksi, tempat tingal), dan respon lawan atau lari (ibid. hal 134).

Mungkin yang dimaksudkan oleh beliau adalah bahwa keberhasilan dalam pemikiran dan akal dikemudian hari ditentukan pada tahap perkembangan motorik yang banyak ditentukan oleh otak belakang ini. Tahap perkembangan motorik memang memiliki pengaruh yang sangat besar dalam tahapan perkembangan dalam berbicara, membaca, atau pemikiran logis lainnya.

Satu hal lagi yang menjadi pertanyaan saya adalah ketidaksetujuan beliau terhadap anak TK yang belajar membaca. Meski ini bukan hal yang aneh tapi tidak jelas apa yang menjadi keberatan beliau. Apakah karena materi belajar membaca (mengenal huruf sampai bisa membaca kalimat dan paragraf) dianggap belum mampu untuk dicerna oleh intelektualitas anak sehingga dikuatirkan akan dapat membuat otak anak menjadi terforsir dan dapat menjadikannya kelelahan (fatigue) dan memperngaruhi perkembangan intelektualitas mereka kelak, ataukah proses dalam belajar membaca tersebut dikuatirkan akan menjadi begitu formal dan terstruktur sehingga seolah tercerabut dari dunia anak yang semestinya lebih kepada bermain, suatu proses yang ‘memaksa dan’membebani’ anak secara mental? Kita mesti jelas dalam hal ini agar kita tidak salah dalam menganalisa permasalahan. Sekedar mengingatkan, otak kita telah berkembang 80% pada usia 5 tahun dan dianggap telah mencapai sempurna 100% pada usia 8 tahun sehingga menunggu otak berkembang sampai sempurna dulu baru dilatih tentu merupakan hal yang mubazir.

Satu hal yang paling ‘mengganggu’ saya adalah pernyataan bahwa ada peraturan yang menyatakan bahwa anak TK TIDAK BOLEH diajar untuk membaca. Sayang sekali tidak jelas peraturan tersebut tercantum dimana karena tentu saja peraturan tersebut patut dipertanyakan. Apakah memang benar ada peraturan tersebut dan dimana kita bisa melihatnya?

Sekedar untuk menutup ‘uneg-uneg’ saya perlu saya sampaikan bahwa Prof. DR. Dedi Supriadi, Guru Besar Universtas Pendidikan Bandung, dengan tegas menjawab bahwa anak usia dini dapat diajari membaca, menulis, dan berhitung ketika ditanya pendapatnya tentang kontroversi bisa tidaknya anak usia dini diberikan materi pelajaran. Bahkan menurutnya anak usia dini dapat diajar tentang sejarah, geografi, dan lain-lainnya. Pertanyaannya bukan lagi apakah seorang balita bisa diajar membaca atau tidak tapi BAGAIMANA MENGAJAR ANAK BALITA MEMBACA. Di Jepang dan negara-negara maju lainnya anak-anak telah diperkenalkan untuk membaca sejak mereka masih Pra-TK dan kita yakin bahwa bangsa Jepang tentu tidak ingin ‘mengorbankan’ anak-anak mereka jika mereka tahu bahwa belajar membaca tersebut akan berakibat buruk bagi anak-anak mereka di masa depan.

· By agorsiloku on Feb 16, 2007 | Reply

anak saya belajar membaca umur 4-5 tahun, sebelum masuk TK. Pingin sendiri, ayah dan ibunya juga “bosan” terus harus membacakan cerita untuk anaknya. TK umur 5 tahun sudah mulai bisa baca. Lha, anak saya kok nggak bodo-bodo amat. Kemarin ikutan test pra toefl sih di lembaga penyelenggara. hasilnya lumayan, dapat 643, padahal nggak pernah ikut kursus bahasa. Bapaknya nggak bisa ngajarin, karena cuma bisa basa medok daerah saja. Jadi, kesimpulan saya, biarkan anak memilih yang disukainya. Belajar membaca karena suka dan menikmatinya….

· By Farida ch on Feb 24, 2007 | Reply

Mungkin saja pak prof itu menyoroti pend. Tk yang kini kelewat batas, karena banyak TK yang membebani anak dengan ‘bacaan’ tak bermakna minus gambar ditambah diberi PR hitungan dan menulis sampai harus rapi banget…Coba aja tengok anak-anak TK sekarang. Sibuknya sudah kayak anak SD. Tapi…kalau pernyataan pak prof itu ditafsirkan langsung seperti apa adanya, saya juga ga setuju. Saya pernah baca, bahwa sejak dini..malah dari sejak bayi harus dikenalkan dengan bacaan. Tentu bukan membaca huruf..tapi diberi gambar-gambar menarik yang sesuai dg dunia mereka. Efek pengenalan itulah yang membuat mereka merasa perlu bisa baca sendiri. Jadi tak ada paksaan dan target tertentu. Yang terjadi skrg ..banyak SD yg ga mau nerima kalau lulusan TK belum bisa baca. Mgkn itu yang bikin pa prof buat pernyataan kontroversial.

· By dewi on Feb 25, 2007 | Reply

sekarang sudah ada cara mengajar balita membaca dan berhitung sambil bermain. orang tua pun hanya perlu waktu kurang dari 10 menit sehari untuk melakukan aktifitas ini. Cara yang fun dan membuat anak lebih cerdas dengan metode sangat sederhana. Silakan mampir ke kartupintar.blogspot.com

· By Riri on Feb 27, 2007 | Reply

Saya tinggal di Switzerland dan anak saya waktu ditaman kanak-kanak mendapat peraturan seperti itu, orang tua tidak diperbolehkan mengajar anak membaca atau menulis dan itu peraturan pemerintah loh. Tetapi anak saya sangat berkeinginan dan mencoba mengenal huruf dimasa taman kanak-kanak karena sejak umur setahun kami selalu membacakan buku untuknya dan juga pada usia 4 tahun kami membacakan buku cerita anak sebelum tidur. Di sini anak masuk kelas satu pada usia 7 tahun dan anak-anak yg memulai tanpa mengenal huruf dan angka sebagian besar menjadi masalah karena terlalu berat untuk anak tsb karena di TK hanya bermain. untuk sementara menjadi topik oleh pemerintah untuk mengenal huruf dan menulis sejak taman kanak-kanak. Pendapat saya sebagai ibu kita tidak boleh memaksa anak untuk belajar tetapi kita dapat mengarahkan anak untuk mengenal huruf dan angka serta belajar sambil bermain sehingga anak itu tidak merasa terpaksa, dimana paksaan atau tekanan menyebabkan anak menjadi pasif atau tidak kreatif. Pada saat disekolah mereka tidak dapat belajar berdiri sendiri sehingga selalu harus dibantu oleh orang tua, yang sebenarnya anak itu dapat belajar dengan sendirinya. Dan setiap anak mempunyai kepandaian yg berbeda beda karena antara aktif di otak kiri atau di otak kanan ada juga kedua-duanya. Bila anak semasa satu sampai lima tahun kita sebagai orang tua tidak boleh terlalu mengkritik atau melarang didalam hal yang positif. karena dapat membuat anak tersebut tidak termotifasi dan tidak kreatif. kita dapat mengarahkan anak untuk senang membaca dan menyukai masuk sekolah. apabila kita menyiapkan dan mengarahkan tanpa memaksa anak untuk belajar menghitung atau membaca anak akan termotifasi untuk bertanya akan keingintahuan dan anak tidak merasa terpaksa untuk mempelajari sesuatu. tanpa pengarahan juga membuat anak hanya bermain sampai usia 7 tahun ada efeknya anak tersebut tidak dapat duduk diam konsentrasi dan tidak tertarik terhadap sekolah dan merasa terbeban untuk belajar membaca, menulis dan menghitung. anak tersebut menjadi nakal dan motorik juga terlambat. pengertian didlm komunikasi juga terhambat. dan anak diusia satu sampai lima sangatlah berperan jangan dimanja denga materi atau kasih sayang yg berlebihan. anak diusia ini masa untuk memberikan kelembutan rasa nyaman, perhatian dan batas-batas dimana sebagai usia tersebut untuk belajar apakah diperbolehkan atau tidak, berbahaya atau tidak pada usia inilah sangat diperlukan dan banyak menjelaskan atau menerangkan karena anak dapat belajar tanpa dipukul atau dibentak. kemanjaan hanya membuat anak tidak hormat pada orang tua atau pada orang lain hanya membuat egois dan lemah. Sekian pengalaman saya sebagai ibu dg dua anak. Di eropa byk org tua yg tidak punya waktu untuk anak dan banyak anak yg dimanja dengan materi dan pada usia 1-5 tahun tanpa batas akibatnya banyak anak yang kurang ajar dan tidak hormat pada orang tua dan guru.
dan banyak juga orang tua yang membirkan anak menonton TV dan Main Nitendo itu juga mempunyai efek sampingan tidak mempunyai perasaan/ rasa simpati. banyaknya kebrutalan pada usia remaja. menurut saya kunci untuk membuat anak lebih cerdas berilah perhatian dan kasih sayang lahir dan batin bukan dengan harta benda serta waktu untuk bersama-sama dan bukanlah orang tua yang berkuasa tetapi menjadi pantun untuk sianak.

· By Satria Dharma on Feb 27, 2007 | Reply

Sayang sekali tidak dijelaskan alasan akademis mengapa anak TK tidak boleh diajari membaca di Switzerland. Saya juga bertanya-tanya bagaimana orang tua kok DILARANG mengajar anaknya yang masih TK (dibawah 7 tahun) untuk membaca. Mana mungkin ada peraturan yang membatasi seperti itu? Mungkin yang dimaksudkan adalah agar orang tua tidak memaksakan anaknya untuk membaca. It makes more sense.

· By Reza Erdiansyah on Mar 29, 2007 | Reply

saya seorang mahasiswa tingkat akhir yang saat ini kebetulan sedang melakukan brbagai macam penelitian untuk tugas akhir yang kebetulan memiliki tema yang sama.
saya sangat setuju sekali apa yang pa prof utarakan. apa yang beliau katakan semua tedapat di dalam beberapa buku psikologi perkembangan yang merupakan hasil pemikiran dari tokoh tokoh-tokoh besar psikologi perkembangan anak seperti plato, piagiet, jhon amus commenius dan masih angat banyak tokoh tokoh terkenal lainya.
jadi menurut saya anda sbaiknya mencoba membaca beberapa buku psikologi sbagai refeensi shingga unek-unek selama ini bisa terjawab.

-terima kasih-

· By Sari on Apr 4, 2007 | Reply

Sebetulnya di Indonesia ini semua serba dilematis, disatu sisi tidak boleh, tapi disisi lain SD menuntut lulusan TK harus bisa membaca. Kebetulan saya mengajar di sebuah TK, dan itu terjadi di TK saya. banyak orang tua bingung Kebetulan TK saya tidak menekankan siswanya utk bisa membaca, tetapi ada yg perlu digaris bawahi bahwa TK saya memberi rangsangan kepada semua anak tentang huruf dan suku kata-suku kata, label atau logo dan hurufnya. kemudian memberitahukan mereka apa sich manfaat membaca, ketika anak sudah terstimulus, otaknya mulai terbuka sehingga dapat mudah menerima pemahaman akan perbedaan bunyi. Jadi mengapa di LN dilarang diajarkan membaca, karena membaca berkaitan dengan pemahaman logika, dan ini baru dimiliki oleh anak usia 6 s/d 12 thn. Tapi kita boleh memberi rangsangan dengan melalui tahapan2 sehingga anak tidak “belajar” tapi “bermain” tanpa sadar mereka akan paham perbedaan bunyi tersebut, yg merupakan gerbang awal utk membaca. Lebih bagus lagi kalau anak mulai diajarkan membaca iqro, karena disitu juga diajarkan perbedaan bunyi. Berdasarkan pengalaman, jika anak pemahamn iqronya bagus, maka membaca akan mudah dilakukan. Alhamdulillah di TK saya semua naka yg masuk jenjang TK B tanpoa sadar mereka sudah bisa membaca. Jadi kesimpulan saya kita sebagai ortu harus banyak memberi rangsangan tanpa anak merasa terbebani sampai mereka menyenangi dan paham bahwa membaca itu menyenangkan. selamat mencoba

· By Mas Djo on Aug 24, 2007 | Reply

Assalaamu’alaikum
Sebenanya sih sejak umu 1,5 tahun anak sudah bisa diajar membaca. Anakku umur 1tahun 10 bulan sudah tahu mana gambar kelinci, pepaya, nanas, sapi dll. Artinya anak sudah bisa membaca lambang. Huruf kan juga sebuah lambang to.
Kami sedang mengembangkan metode pengajaran membaca (huruf latin) yang cocok untuk anak usia dini. Sebenarnya sih sudah diterapkan di paud dan tk temen, tetapi disini ada perubahan-perubahan.
Intinya pengenalan bukan huruf per huruf, tetapi suku kata
Salah satu contoh : a da ma ta
namun di awal kita jangan langsung memaksa anak membaca kata. Tunjukkan dengan kartu atau board a, da, ma, ta. Di bolak-balik urutannya. Sehari cukup 5 sampai 10 menit (klasikal). Selanjutnya dikenalkan melalui permainan-permainan terintegrasi dengan kegiatan pengajaran di tk. Contoh, melompat. Buat 5 kotak di lantai dan ditulis suku kata a, da, ma, ta. anak duduk di kotak tengah, kemudian diberi aba-aba “lompat ke da, a dst.
Dari pengalaman kami dan dalam waktu 3 bulan anak sudah bisa diberi bacaan (sesuai suku kata yang sudah dikenalkan). Ingat 3 bulan pertama tidak kita kenalkan ke buku, hanya lewat permainan-permainan.
Alham dulillah buku panduan sudah hampir selesai disusun. Insya Allah akan kita cetak dan dipublikasikan supaya bermanfaat bagi orang banya

Wassalaamu’alaium ww.
Mas Djo

· By Mas Djo on Aug 24, 2007 | Reply

email ku ingin tahu lebih banyak : kirim ke agrodjo@yahoo.com

· By Lidya on Feb 3, 2008 | Reply

Anak balita (dibawah 7 tahun) belum boleh dipaksa belajar calistung karena pd usia tsb, anak2 masih masanya untuk bermain. Karna itu, terapkan saja metode belajar sambil bermain sehingga belajar menjadi hal yg menyenangkan & tdk membosankan. Biarpun belum usianya belajar calistung, tp kalau kita selipkan unsur2 belajar calistung saat bermain..berarti secara tidak langsung si anak sdh mengenal calistung. Kesiapan anak utk menerima materi bukan ditentukan oleh faktor usia semata. Tapi kejelian org tua mendeteksi potensi & kondisi anak sehingga pendidikan bisa diberikan secara tepat & optimal.

· By sri wahyuni on May 18, 2008 | Reply

Saya seorang dosen bahasa Indonesia di Universitas Islam Malang yang saat ini sedang menempuh program doktor di Universitas Negeri Malang. Saya termasuk salah satu orang yang sangat menyenangi dunia baca. Oleh karena itu, sejak dini anak-anak saya sudah berikan keterampilan membaca. Kalau menurut saya masalahnya bukan ‘apakah anak TK boleh diajarkan membaca’ tetapi yang terpenting adalah “bagaimanakah cara yang tepat mengajarkan anak membaca”. Anak saya pertama dapat membaca pada usia 4 tahun, anak saya kedua dapat membaca pada usia 4,5 tahun,dan anak saya ketiga dapat membaca pada usia 3 tahun. Saya membelajarkan mereka sesuai dengan KEMAMPUAN dan KEMAUAN mereka. Saya kira kemampuan membaca dapat dilatihkan pada anak sejak dini, bahkan sebelum mereka memasuki TK. Menurut penelitian Glenn (1998), membaca sudah dapat diajarkan pada balita, bahkan lebih efektif daripada sudah memasuki usia sekolah. Ia menemukan fakta, bahwa anak umur 4 tahun lebih efektif daripada umur 5 tahun, dan umur 3 tahun lebih mudah daripada 4 tahun. Jadi, makin kecil (usia balita) makin mudah untuk diajar karena balita bisa menyerap informasi secara luar biasa. Saat ini saya sedang menyusun buku membaca untuk balita dan anak dengan menggunakan paduan metode suku kata dan metode lembaga kata. Dengan metode ini,anak akan cepat membaca dalam waktu singkat dan tanpa paksaan.Buku ini saya program 2 bulan lancar membaca. Semoga buku ini nanti berguna khususnya bagi guru atau orang tua yang menginginkan anak mampu membaca sejak dini untuk menyiapkan generasi literat handal di masa mendatang. Dan semoga dengan kemampuan yang dimiliki ini merupakan jalan yang akan mengantarkan mereka mencapai derajat kemanusiaan yang sempurna.

· By dhamayanti on Jun 19, 2008 | Reply

Menarik bahasan dari bpk SD ini,mungkin sekedar berbagi pengalaman kepada teman teman yang lain, saya kebetulan mendirikan semacam tempat belajar untuk anak2 yang kurang mampu untuk ke TK krn masalah biaya, dan alhamdulillah saya mempunyai 100 anak didik, mereka rata usia 3 sd 6 tahun, kmdian saya dan teman membagi klas berdasarkan usia, anak 3 tahun dengan anak 3 tahun , 4 dan 5 dengan seusianya pun untuk anak usia 6 thn yang akan masuk SD. Hasilnya anak yang usia 3,4 cenderung lebih cepat membaca dibanding usia 5 tahun keatas. Kami tidak menggunakan metode2 yang muluk2, kami hanya membrikan kondisi yang nyaman saja buat anak ketika jam membaca mulai, hasilnya ketika jam membaca mulai anak2 dengan sendirinya mengantri kadang sampai rebutan karena mereka ingin membaca tidak 1 halaman saja tapi lebih.Semoga pengalaman ini bisa berguna buat teman2 karna bagaimanapun mengkondisikan anak yang akan kelak hobby membaca pun, itu lebih baik di mulai sedini mungkin.

· By satriadharma on Jun 19, 2008 | Reply

Mbak Dhamayanti, sebaiknya pengalaman Anda ini ditulis dan dijadikan buku agar bisa dipakai oleh guru-guru atau orang tua lain yang ingin melakukan hal yang sama. Catalah perkembangan dari setiap anak sehingga ada dokumentasinya. Kalau bisa ambil foto-foto sebagai ilustrasi nantinya.
Saya yakin buku tersebut akan laris. :-)
Salam
Satria

· By asih sofii on Jul 17, 2008 | Reply

yuk sharing2 di webku juga

· By Warindra on Oct 21, 2008 | Reply

Salam kenal.. Meski saya telat nimbrung, tapi saya menganggap tema ini tdk pernah basi. Selalu ada update pendapat, teori, dan praksis. Mbak Damayanti, Mas Satriadharma, atau siapa pun boleh loh nulis pengalamannya. Saya mau dikirimi gagasan dasarnya dulu. Trus, kita diskusikan, nanti setelahnya baru ditulis. Tidak usah jadi buku tebal. Cukup 15.000 kata. Ini bakal jadi buku ringan untuk dibaca ortu sibuk sekalipun. Oh ya, saya editor buku keluarga dari sebuah penerbit di Yogyakarta. Kontak saya: keluarga-red@kanisiusmedia.com

Anak TK Belajar Huruf & Angka, Penganiayaan Terselubung

Pdpersi, Jakarta - Sebagian Taman Kanak-Kanak telah mengajarkan baca, tulis dan hitung (calistung). Selain melanggar ketentuan, hal itu juga dikhawatirkan akan berpengaruh negatif pada perkembangan jiwa anak bahkan termasuk dalam tindak penganiayaan (abuse).

Demikian diungkapkan Ketua Komisi Nasional (Komnas) Anak Seto Mulyadi di Jakarta, kemarin.

Seto mengungkapkan, berdasarkan UU Sistem Pendidikan Nasional (Sidiknas) No 20 tahun 2003, TK masuk dalam sistem pendidikan anak usia dini (PAUD) dengan titik berat pembelajaran moral, nilai agama, sosial, emosional dan kemandirian. Semua nilai-nilai tersebut ditanamkan melalui metode pembiasaan.

UU tersebut, kata Seto, sama sekali tidak menyebutkan TK sebagai sarana persiapan bagi anak sebelum memasuki SD. Begitu pula dengan pembelajaran huruf dan angka, jelas-jelas tidak masuk dalam kurikulum TK. Sehingga, pendidikan calistung dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap aturan.

Namun, lanjut Seto, pada prakteknya, pelanggaran itu terjadi di sebagian besar TK. Hal itu ditenggarai terkait dengan tuntutan mayoritas SD yang mengharuskan calon siswanya telah menguasai calistung.

"Orang tua kemudian balik menuntut pengelola TK. Mereka ingin anaknya dipersiapkan seoptimal mungkin agar tidak terhambat masuk SD. Inilah lingkaran kekeliruan yang pada akhirnya menjadikan anak sebagai korban. Akhirnya TK bukan menjadi sarana belajar sambil bermain, tapi belajar sambil menangis," kata Seto yang juga anggota Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).

Padahal, kata Seto, secara ilmiah anak-anak dibawah usia sekolah belum siap diajarkan calistung. Anak-anak TK tidak boleh dibebani target, melainkan diberi kesempatan bermain sepuas-puasnya. Sementara, pembelajaran tentang nilai-nilai kehidupan diberikan dengan metode tematik yang mudah difahami.

Seto menegaskan, sebagai upaya mengembalikan hak-hak anak yang dianggap kini terampas oleh sistem pendidikan yang salah, pada 2006 mendatang BSNP akan mengeluarkan regulasi yang merombak sistem pendidikan kelas satu hingga tiga SD. Aturan itu akan merubah sistem pembelajaran berpola tematik, seperti yang diterapkan pada murid TK. Pembahasan pelajaran akan disederhanakan, disesuaikan sengan usia anak yang masih belia.

Aturan tersebut, kata Seto, kini tengah digodok BSNP dan rencananya tahun depan akan mulai disosialisasikan. Keputusan untuk merombak aturan tersebut didasarkan atas evaluasi BSNP pada muatan kurikulum yang saat ini berlaku. Kurikulum saat ini dinilai terlalu berat, disertai target dan materi yang tidak sesuai dengan usia anak.

"Sekarang ini sekolah menjadi kewajiban yang membebani anak. Padahal, sekolah dan belajar itu hak anak. Itu yang kerap kita lupakan," ujar Seto.

Berdasarkan pengamatan Media di sejumlah TK, selain diajarkan bernyanyi dan keterampilan unuk melatih motorik, setiap harinya murid-murid TK juga mendapat pendidikan mengenal huruf-huruf alfabet serta angka. Bahkan, anak-anak yang masih berusia empat sampai lima tahun itu juga diharuskan berlatih menuliskannya dalam buku tulis seperti halnya murid SD.

Di TK Kartika Bojong Gede Kabupaten Bogor, seluruh muridnya telah terbiasa membawa buku tulis setiap paginya. Selama tiga jam bersekolah di TK, dari pukul tujuh hingga sepuluh pagi, mereka berlatih menulis dan membaca hingga merangkainya dalam kata. Begitu pula dengan angka, selain menuliskannya, mereka juga dilatih pertambahan dan pengurangan sederhana.

"Alma sudah bisa baca sedikit-sedikit, diajar mama, tapi di sekolah juga belajar," kata Alma, seorang murid.

Nani, orang tua Alma mengaku terkadang merasa kasihan pada anaknya karena kerap harus bersusah payah menghapal dan menulis. Padahal, memegang pinsil saja, merupakan pekerjaan berat bagi anaknya yang belum genap lima tahun. Kendati begitu, Nani mengaku tak berani menyatakan keberatannya pada pihak sekolah.

"Kalau dia tidak bisa baca tulis, ya susah masuk SD. Semua SD yang ada di sekitar sini memberi tes baca tulis pada setiap anak yang mendaftar. Ada juga yang tidak, tapi SD-nya kurang bagus," kata Nani. Seorang guru yang mengajar di sebuah TK di Bandung mengaku dirinya kerap harus mengelus dada melihat perjuangan yang harus dilalui anak didiknya saat diajari calistung. Padahal, untuk memusatkan perhatian saja, murid-muridnya masih kesulitan.

"Mereka masih sulit berkonsentrasi. Keinginan bermain jauh lebih besar. Saya sendiri tak tega, tapi ini sudah ketentuan sekolah. Padahal, dulu tidak begini, murid saya yang saya ajar sepuluh tahun lalu tidak belajar calistung tapi sekarang sudah jadi orang semua," kata guru yang enggan disebut namanya tersebut. (iis

Tidak ada komentar:

Label

Pernak Pernik

  • Lukisan Hati
  • Lain lain

Mobil Kesayanganku

Mobil Kesayanganku
Mitsubishi Galant V6 2.0 24Valve

Mengenai Saya

Foto saya
Ds Kaum Ds Subah Kab Batang, Jawa Tengah, Indonesia
Meski besar di desa tapi hati ini bahagia, subah bagaikan magnit permanen yang senantiasa menarikku kuat untuk selalu pulang dan menikmati keindahan desa-ku yang penuh kenangan indah baik suka maupun duka. Pada ortu yg telah membesarkan aku, aku sangat hormat dan taat pd nasehat mu, aku sangat mencintaimu bapak dan ibu. Salam hormat dan sungkem untukmu selalu, mudah-mudahan amalan perbuatanmu diterima disisih Allah SWT, Amiiin